Amanah maksudnya adalah kredibilitas, layak mendapat kepercayaan, mawas diri dan inisiatif untuk melaksanakan tugas dengan semestinya. Amanah merupakan salah satu sifat yang paling penting yang dibicarakan para pakar manajemen, baik di Barat maupun di Timur.
Kata amanah sering dipakai lebih dari satu makna, di antaranya:
Pertama: Perintah atau kewajiban. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Kedua: Amanah moral. Amanah bukan hanya dalam persolan materi saja, namun amanah bisa mencakup makna yang lebih luas dan komplek. Di antaranya adalah tidak pelit dalam memberikan penghargaan dan pujian yang bercampur dengan rasa cinta dan perhatian kepada para pengikut. Semboyan mereka adalah: “Maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". Membantu mereka dalam persoalan dan problem-problem berat yang mereka hadapi dengan segenap kemampuan.
Ketiga: Hati yang hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Syeikh al-Ghazali: “Hati yang hidup adalah hati yang menjaga hak-hak, baik hak Allah maupun hak manusia dan menjaga perbuatan dari dorongan-dorongan keekstreman dan pelalaian. Apabila hati tidak hidup maka untuk apa membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan mempelajari Sunah?!”.
Keempat: Sempurna dalam pekerjaan. Manusia harus melakukan kewajiban yang dibebankan kepadanya dengan sempurna dan mengerahkan segala kekuatannya untuk mencapai kesempurnaan. Di antara usaha untuk mencapai kesempurnaan adalah dengan selalu menjaga hak-hak manusia yang ada di hadapannya. Apabila seseorang meremehkan tugas yang dibebankan kepadanya, walaupun berupa tugas kecil yang tidak ternilai, maka dia akan melalaikan tugas-tugas lainnya yang jauh lebih besar. Keadaan ini jika dibiarkan akan menjalar dan merusak seluruh instansi. Jangan melaksanakan tugas dengan cara yang membosankan yang hanya bertujuan untuk menjaga pekerjaan agar tidak hilang. Namun dia harus melewati tingkatan sempurna menuju kreatifitas, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang mengerjakan pekerjaannya dengan sempurna”.
Kelima: tidak mengeksploitasi jabatan. Siapa saja tidak boleh memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, keluarganya atau untuk menghalangi kepentingan masyarakat dan menghilangkan hak-hak mereka.
Dahulu Umar bin al-Khattab r.a. telah membuat prinsip yang dia jalankan, yaitu: “Siapa saja yang mengangkat seseorang karena kecondongan pribadi atau hubungan keluarga dan tidak ada alasan lain atas pengangkatannya tersebut selain hal itu, maka sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin”.
Keenam: mengangkat yang terbaik. Dalam sebuah hadits Abu Hurairah r.a. pernah berkata: “Ketika Nabi SAW sedang memberikan pelajaran dalam suatu majlis, tiba-tiba datang seorang A’rabi (penduduk kampung) lalu bertanya kepada Rasulullah: “Kapan Hari Kiamat akan terjadi?” Rasulullah tidak menjawab, namun terus memberikan pelajaran kepada jama’ah. Sebagaian jama’ah berkata: “Beliau mendengar apa yang ditanyakan laki-laki itu, namun beliau tidak suka”. Sebagian yang lain mengatakan: “Tidak, beliau tidak mendengar pertanyaan orang itu”. Hingga ketika beliau telah selesai dari pengajiannya, beliau berkata: “Di mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?” Orang itu menjawab: “Saya, Ya, Rasulullah” Rasulullah berkata: “Apabila amanah telah diangkat, maka Hari Kiamat telah dekat”. Orang bertanya lagi: “Bagaimana amanah diangkat?” Jawab beliau: “Apabila perkara (kepemimpinan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah terjadinya Kiamat?”
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang mengangkat seseorang dari suatu kaum, padahal dalam kaum tersebut ada yang lebih diridlai oleh Allah darinya, maka sungguh dia telah menghianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin”.
Bagaimana Amanah Hilang?
Hal itu diterangkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman r.a. dia mendengar Nabi SAW bersabda: “Seseorang tidur, lalu amanah dicabut dari hatinya, sehingga bekasnya seperti noktah diatas kertas, kemudian orang itu tidur sekali lagi, lalu amanah dicabut dari hatinya, sehingga bekasnya seperti kulit yang melepuh karena terkena bara, kemudian beliau menambahkan: maka manusia melakukan jual-beli dan hampir tidak ada seorangpun yang menunaikan amanah, hingga ada yang mengatakan bahwa di Bani fulan ada orang yang amanah, maka mereka berkata: “Alangkah teguhnya dia! Alangkah baiknya dia! Alangkah berakalnya dia!” Padahal di hatinya tidak ada sedikitpun keimanan, walaupun sekecil biji sawi”.
Amanah adalah keutamaan yang sangat besar. Orang yang tidak serius tidak akan sanggup mengembannya. Manusia tidak berhak meremehkannya atau menelantarkan amanah.
Di antara bentuk meremehkan amanah adalah memberikan perhatian yang berlebihan terhadap hal-hal yang berbau formalitas dan melupakan substansi yang pokok. Kita hanya memperhatikan sistem pendidikan yang tidak jelas dengan mengorbankan nilai pendidikan dan pengajaran, maka amanah tergeser sedikit demi sedikit dari hati kita. Hal ini pula yang menyebabkan pegawai datang terlambat dan pulang paling cepat. Ketika kita melakukan penelitian di dua negara Arab terbukti bahwa rata-rata efektifitas kerja para pegawai negeri selama sehari adalah 30 menit dan rata-rata efektifitas kerja mereka dalam hitungan detik adalah 27 menit.
Kata amanah sering dipakai lebih dari satu makna, di antaranya:
Pertama: Perintah atau kewajiban. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Kedua: Amanah moral. Amanah bukan hanya dalam persolan materi saja, namun amanah bisa mencakup makna yang lebih luas dan komplek. Di antaranya adalah tidak pelit dalam memberikan penghargaan dan pujian yang bercampur dengan rasa cinta dan perhatian kepada para pengikut. Semboyan mereka adalah: “Maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". Membantu mereka dalam persoalan dan problem-problem berat yang mereka hadapi dengan segenap kemampuan.
Ketiga: Hati yang hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Syeikh al-Ghazali: “Hati yang hidup adalah hati yang menjaga hak-hak, baik hak Allah maupun hak manusia dan menjaga perbuatan dari dorongan-dorongan keekstreman dan pelalaian. Apabila hati tidak hidup maka untuk apa membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan mempelajari Sunah?!”.
Keempat: Sempurna dalam pekerjaan. Manusia harus melakukan kewajiban yang dibebankan kepadanya dengan sempurna dan mengerahkan segala kekuatannya untuk mencapai kesempurnaan. Di antara usaha untuk mencapai kesempurnaan adalah dengan selalu menjaga hak-hak manusia yang ada di hadapannya. Apabila seseorang meremehkan tugas yang dibebankan kepadanya, walaupun berupa tugas kecil yang tidak ternilai, maka dia akan melalaikan tugas-tugas lainnya yang jauh lebih besar. Keadaan ini jika dibiarkan akan menjalar dan merusak seluruh instansi. Jangan melaksanakan tugas dengan cara yang membosankan yang hanya bertujuan untuk menjaga pekerjaan agar tidak hilang. Namun dia harus melewati tingkatan sempurna menuju kreatifitas, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang mengerjakan pekerjaannya dengan sempurna”.
Kelima: tidak mengeksploitasi jabatan. Siapa saja tidak boleh memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, keluarganya atau untuk menghalangi kepentingan masyarakat dan menghilangkan hak-hak mereka.
Dahulu Umar bin al-Khattab r.a. telah membuat prinsip yang dia jalankan, yaitu: “Siapa saja yang mengangkat seseorang karena kecondongan pribadi atau hubungan keluarga dan tidak ada alasan lain atas pengangkatannya tersebut selain hal itu, maka sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin”.
Keenam: mengangkat yang terbaik. Dalam sebuah hadits Abu Hurairah r.a. pernah berkata: “Ketika Nabi SAW sedang memberikan pelajaran dalam suatu majlis, tiba-tiba datang seorang A’rabi (penduduk kampung) lalu bertanya kepada Rasulullah: “Kapan Hari Kiamat akan terjadi?” Rasulullah tidak menjawab, namun terus memberikan pelajaran kepada jama’ah. Sebagaian jama’ah berkata: “Beliau mendengar apa yang ditanyakan laki-laki itu, namun beliau tidak suka”. Sebagian yang lain mengatakan: “Tidak, beliau tidak mendengar pertanyaan orang itu”. Hingga ketika beliau telah selesai dari pengajiannya, beliau berkata: “Di mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?” Orang itu menjawab: “Saya, Ya, Rasulullah” Rasulullah berkata: “Apabila amanah telah diangkat, maka Hari Kiamat telah dekat”. Orang bertanya lagi: “Bagaimana amanah diangkat?” Jawab beliau: “Apabila perkara (kepemimpinan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah terjadinya Kiamat?”
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang mengangkat seseorang dari suatu kaum, padahal dalam kaum tersebut ada yang lebih diridlai oleh Allah darinya, maka sungguh dia telah menghianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin”.
Bagaimana Amanah Hilang?
Hal itu diterangkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman r.a. dia mendengar Nabi SAW bersabda: “Seseorang tidur, lalu amanah dicabut dari hatinya, sehingga bekasnya seperti noktah diatas kertas, kemudian orang itu tidur sekali lagi, lalu amanah dicabut dari hatinya, sehingga bekasnya seperti kulit yang melepuh karena terkena bara, kemudian beliau menambahkan: maka manusia melakukan jual-beli dan hampir tidak ada seorangpun yang menunaikan amanah, hingga ada yang mengatakan bahwa di Bani fulan ada orang yang amanah, maka mereka berkata: “Alangkah teguhnya dia! Alangkah baiknya dia! Alangkah berakalnya dia!” Padahal di hatinya tidak ada sedikitpun keimanan, walaupun sekecil biji sawi”.
Amanah adalah keutamaan yang sangat besar. Orang yang tidak serius tidak akan sanggup mengembannya. Manusia tidak berhak meremehkannya atau menelantarkan amanah.
Di antara bentuk meremehkan amanah adalah memberikan perhatian yang berlebihan terhadap hal-hal yang berbau formalitas dan melupakan substansi yang pokok. Kita hanya memperhatikan sistem pendidikan yang tidak jelas dengan mengorbankan nilai pendidikan dan pengajaran, maka amanah tergeser sedikit demi sedikit dari hati kita. Hal ini pula yang menyebabkan pegawai datang terlambat dan pulang paling cepat. Ketika kita melakukan penelitian di dua negara Arab terbukti bahwa rata-rata efektifitas kerja para pegawai negeri selama sehari adalah 30 menit dan rata-rata efektifitas kerja mereka dalam hitungan detik adalah 27 menit.