Bermanfaatlah
Semestinya kita ini bermanfaat dari pucuk rambut hingga ke ujung kaki. Seperti pohon kelapa yang seluruh tubuhnya bisa kita gunakan: daun, batang, buah akar, hingga sabut dan tempurungnya, tak ada yang terbuang percuma. Demikian juga pohon pisang yang tak satupun bagiannya yang tak bisa dipakai untuk sesuatu. Juga berbagai tumbuh-tumbuhan lain, mulai dari pohon tinggi menjulang yang tumbuh di hutan-hutan hingga semakdan ilalang yang bertebaran di lereng gunung dan padang rumput. Semuanya memberikan manfaat. Semuanya berguna. Tak ada yang sia-sia.
Lalu mengapa banyak orang merasa hidupmya yamg hanya sekelebat ini tersia-sia. Anugerah yang ada dalam diri manusia sudah begitu berharga: panca indera, anggota tubuh, akal pikiran hingga sebongkah hati nurani. Semuanya tentu bukan untuk hal percuma. Itulah sebabnya, seorang bijak pernah berkata, “Bila manusia yang tak memberikanmanfaat bagi sesama, maka apa lagi yang diharapkan darinya?”
Kuatkanlah jiwa kita
Jadilah laksana pensil. Meski pensil patah berkali-kali, batu jelaga hitam di dalamnya masih bisa kita pakai untuk menulis. Bahkan hingga ke patahan terakhir, pensil tak kehilangan “jiwanya”, sang batu jelaga hitam itu. Ketika batang pensil telah lenyap terserut, sang “jiwa” pensil tetap abadi membentuk sketsa seorang pelukis, atau coretan rumus fisika seorang jenius, atau hanya sekedar garapan pekerjaan rumah seorang murid sekolah dasar. Bahkan ketika sang pelukis atau sang jenius telah tiada, sketsa itu dikenang dalam pigura, dan rumus fisika itu telah mengubah hidup banyak orang.
Jadilah jiwa yang kuat. Meski tubuh kita dipatahkan berkali-kali, jangan sampai kehilangan jiwa kuat kita. Karena kekuatan jiwa mengilhami diri kita sendiri. Dan, ketika jiwa kuat kita mengilhami orang lain, ia menjadi abadi, dikenang dalam tindakan dan mengubah hidup banyak orang. Keabadian memang tidak terletak pada tubuh fisik kita, namun pada jiwa kita; si batu jelaga hitam pensil itu.
Mulailah dari tetangga terdekat
Cukup banyak orang yang mampu bersikap sempurna dalam lingkungan kerjanya, namun seolah kehilangan kepribadian itu saat berada di lingkungan rumah mereka. Bukan hanya itu, mudah sekali bagi mereka mengundang decak kagum orang lain atas prestasi profesinya, tetapi gagal meraih simpati tetangga terdekatnya. Mengapa? Bukankah kebaikan tetaplah kebaikan di manapun ia berada? Bila sikap baik tergantung pada tempat dan waktu, maka kebaikan hanyalah topeng penutup keburukan yang lain. Ajaran moral para bijak tua itu sederhana saja, bersikaplah paripurna! Kapanpun. Di manapun. Bahkan meski kita hanya seorang diri.
Pepatah mengatakan, “Jangan tebarkan aroma masakanmu ke tetanga sebelah bila kau tak berkenan membaginya pada mereka.” Jangan kau banggakan kehebatanmu di seberang pulau sana, bila tetangga rumah tak sekalipun merasakan kehebatan itu. Mulailah dari yang dekat. Mulailah dari tetangga kita sendiri.
Mulailah memberi
Bila tak seorangpun berbelas kasih pada kesulitan kita. Atau tak ada yang mau merayakan keberhasilan kita. Atau tak seorangpun bersedia mendengarkan, memandang, memperhatikan apapun pada diri kita. Jangan masukkan ke dalam hati. Manusia selalu disibukkan oleh urusannya sendiri. Manusia kebanyakan mendahulukan kepentingannya sendiri. Kita tak perlu memasukkan itu ke dalam hati. Karena hanya akan menyesakkan dan membebani langkah kita. Ringankan hidup kita dengan memberi kepada orang lain. Semakin banyak kita memberi semakin banyak semakin mudah kita memikul hidup ini.
Berdirilah di depan jendela. Pandanglah keluar. Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa kita berikan pada dunia ini? Pasti ada alasan kuat mengapa kita hadir di sini. Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung kita. Keberadaan kita bukan untuk kesia-siaan. Bahkan seekor cacingpun dihidupkan untuk menggemburkan tanah. Dan sebongkah batu dipadatkan untuk menahan gunung. Alangkah hebatnya kita dengan segala kekuatan yang tak dimiliki siapapun untuk mengubah dunia. Itu hanya terwujud jika kita mau memberikannya.
Kerjakan kebaikan meskipun tampak remeh
Tak perlulah kita menilai besar kecilnya sesuatu perbuatan baik. Sebab seringkali sebuah perbuatan yang tampak remeh justru harus kita lakukan demi kebaikan yang teramat besar. Kita tak tahu skenario apa yang akan berlangsung setelah itu. Mungkin perbuatan kita menyingkirkan paku dari jalan dipandang tiada berarti. Karena kita tak perlu melakukan apa-apa selain membungkuk, memungut dan meletakkannya di tempat yang aman. Namun tindakan itu menghindarkan kaki seekor kuda yang tak bertapal dari sengatan tajamnya paku. Sehingga sang pengendara kuda itu mampu sampai di garis depan pertempuran, dan memberitahukan kepada para jenderal bahwa perang telah usai. Perdamaianpun terselamatkan. Lakukan saja perbuatan baik sekecil apapun. Dan jangan sekali-kali kita menganggap orang lain lebih patut melakukannya. Keengganan kita dapat menghapus kebaikan. Dan itu bisa jadi sebuah kejahatan.
Tak perlu juga kita menilai besar kecilnya jasa perbuatan baik kita. Setiap tindakan, baik maupun jahat, memerlukan pelaku. Bila kita tak melakukannya, orang lain akan menunaikannya. Menilai-nilai perbuatan baik kita hanyalah permainan ego yang justru menghapuskan kebaikan itu dari diri kita sendiri. Seperti pasir kering tertiup angin, kita takkan berhak menggenggamnya, meski hanya sebutir lembut.
Semestinya kita ini bermanfaat dari pucuk rambut hingga ke ujung kaki. Seperti pohon kelapa yang seluruh tubuhnya bisa kita gunakan: daun, batang, buah akar, hingga sabut dan tempurungnya, tak ada yang terbuang percuma. Demikian juga pohon pisang yang tak satupun bagiannya yang tak bisa dipakai untuk sesuatu. Juga berbagai tumbuh-tumbuhan lain, mulai dari pohon tinggi menjulang yang tumbuh di hutan-hutan hingga semakdan ilalang yang bertebaran di lereng gunung dan padang rumput. Semuanya memberikan manfaat. Semuanya berguna. Tak ada yang sia-sia.
Lalu mengapa banyak orang merasa hidupmya yamg hanya sekelebat ini tersia-sia. Anugerah yang ada dalam diri manusia sudah begitu berharga: panca indera, anggota tubuh, akal pikiran hingga sebongkah hati nurani. Semuanya tentu bukan untuk hal percuma. Itulah sebabnya, seorang bijak pernah berkata, “Bila manusia yang tak memberikanmanfaat bagi sesama, maka apa lagi yang diharapkan darinya?”
Kuatkanlah jiwa kita
Jadilah laksana pensil. Meski pensil patah berkali-kali, batu jelaga hitam di dalamnya masih bisa kita pakai untuk menulis. Bahkan hingga ke patahan terakhir, pensil tak kehilangan “jiwanya”, sang batu jelaga hitam itu. Ketika batang pensil telah lenyap terserut, sang “jiwa” pensil tetap abadi membentuk sketsa seorang pelukis, atau coretan rumus fisika seorang jenius, atau hanya sekedar garapan pekerjaan rumah seorang murid sekolah dasar. Bahkan ketika sang pelukis atau sang jenius telah tiada, sketsa itu dikenang dalam pigura, dan rumus fisika itu telah mengubah hidup banyak orang.
Jadilah jiwa yang kuat. Meski tubuh kita dipatahkan berkali-kali, jangan sampai kehilangan jiwa kuat kita. Karena kekuatan jiwa mengilhami diri kita sendiri. Dan, ketika jiwa kuat kita mengilhami orang lain, ia menjadi abadi, dikenang dalam tindakan dan mengubah hidup banyak orang. Keabadian memang tidak terletak pada tubuh fisik kita, namun pada jiwa kita; si batu jelaga hitam pensil itu.
Mulailah dari tetangga terdekat
Cukup banyak orang yang mampu bersikap sempurna dalam lingkungan kerjanya, namun seolah kehilangan kepribadian itu saat berada di lingkungan rumah mereka. Bukan hanya itu, mudah sekali bagi mereka mengundang decak kagum orang lain atas prestasi profesinya, tetapi gagal meraih simpati tetangga terdekatnya. Mengapa? Bukankah kebaikan tetaplah kebaikan di manapun ia berada? Bila sikap baik tergantung pada tempat dan waktu, maka kebaikan hanyalah topeng penutup keburukan yang lain. Ajaran moral para bijak tua itu sederhana saja, bersikaplah paripurna! Kapanpun. Di manapun. Bahkan meski kita hanya seorang diri.
Pepatah mengatakan, “Jangan tebarkan aroma masakanmu ke tetanga sebelah bila kau tak berkenan membaginya pada mereka.” Jangan kau banggakan kehebatanmu di seberang pulau sana, bila tetangga rumah tak sekalipun merasakan kehebatan itu. Mulailah dari yang dekat. Mulailah dari tetangga kita sendiri.
Mulailah memberi
Bila tak seorangpun berbelas kasih pada kesulitan kita. Atau tak ada yang mau merayakan keberhasilan kita. Atau tak seorangpun bersedia mendengarkan, memandang, memperhatikan apapun pada diri kita. Jangan masukkan ke dalam hati. Manusia selalu disibukkan oleh urusannya sendiri. Manusia kebanyakan mendahulukan kepentingannya sendiri. Kita tak perlu memasukkan itu ke dalam hati. Karena hanya akan menyesakkan dan membebani langkah kita. Ringankan hidup kita dengan memberi kepada orang lain. Semakin banyak kita memberi semakin banyak semakin mudah kita memikul hidup ini.
Berdirilah di depan jendela. Pandanglah keluar. Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa kita berikan pada dunia ini? Pasti ada alasan kuat mengapa kita hadir di sini. Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung kita. Keberadaan kita bukan untuk kesia-siaan. Bahkan seekor cacingpun dihidupkan untuk menggemburkan tanah. Dan sebongkah batu dipadatkan untuk menahan gunung. Alangkah hebatnya kita dengan segala kekuatan yang tak dimiliki siapapun untuk mengubah dunia. Itu hanya terwujud jika kita mau memberikannya.
Kerjakan kebaikan meskipun tampak remeh
Tak perlulah kita menilai besar kecilnya sesuatu perbuatan baik. Sebab seringkali sebuah perbuatan yang tampak remeh justru harus kita lakukan demi kebaikan yang teramat besar. Kita tak tahu skenario apa yang akan berlangsung setelah itu. Mungkin perbuatan kita menyingkirkan paku dari jalan dipandang tiada berarti. Karena kita tak perlu melakukan apa-apa selain membungkuk, memungut dan meletakkannya di tempat yang aman. Namun tindakan itu menghindarkan kaki seekor kuda yang tak bertapal dari sengatan tajamnya paku. Sehingga sang pengendara kuda itu mampu sampai di garis depan pertempuran, dan memberitahukan kepada para jenderal bahwa perang telah usai. Perdamaianpun terselamatkan. Lakukan saja perbuatan baik sekecil apapun. Dan jangan sekali-kali kita menganggap orang lain lebih patut melakukannya. Keengganan kita dapat menghapus kebaikan. Dan itu bisa jadi sebuah kejahatan.
Tak perlu juga kita menilai besar kecilnya jasa perbuatan baik kita. Setiap tindakan, baik maupun jahat, memerlukan pelaku. Bila kita tak melakukannya, orang lain akan menunaikannya. Menilai-nilai perbuatan baik kita hanyalah permainan ego yang justru menghapuskan kebaikan itu dari diri kita sendiri. Seperti pasir kering tertiup angin, kita takkan berhak menggenggamnya, meski hanya sebutir lembut.